Senin, 07 September 2015

Bahagia itu Sederhana

Saya hanya ingin menceritakan pengalaman berharga yang saya dapatkan hari ini. Bukan dari kampus tempat saya mencari ilmu. Bukan pula dari dosen yang bergelar doktor. Tetapi dari tempat dan dari orang yang tak terduga.
                Sore tadi saya pulang kuliah naik angkot. Diterminal ada 2 orang naik angkot yang sama dengan saya, seorang ibu dan anaknya, yang sepertinya mereka mau pulang kampung. Pakaian mereka sangatlah sederhana. Memakai kebaya jadul yang sudah usang, membawa beberapa kantong kresek (menurut saya kantong kresek itu berisi baju-baju mereka). Saat angkot sudah agak penuh dan mulai meninggalkan terminal, tak jauh dari terminal mereka memberhentikan angkot, saya kira mereka mau turun, ternyata ada kerabat mereka yang sudah menunggu di pinggir jalan. Mereka duduk bertiga bersebelahan. Sambil bercerita, ngalor ngidul, sambil makan kerupuk sebagai camilan mereka. Saya lihat tak tampak ada raut kesusahan dalam wajah mereka. Senyum mereka sungguh membuat saya sedih, saya sadar saya sangat jarang bersyukur atas apa yang sudah saya dapatkan.
                Tak berhenti sampai disitu, saat angkot yang saya tumpangi ngetem, ada (mohon maaf) pengemis cacat meminta-minta kedalam angkot. Keadaan angkot yang penuh dengan penumpang, namun mereka hanya mencibir melihat jijk pada pengemis itu. Jujur saya tidak melihat ada pengemis karena posisi duduk saya berada paling ujung. Namun saya melihat salahsatu dari ketiga ibu-ibu tadi mengeluarkan uang, walaupun hanya 2rb. Ibu itu berkata pada penumpang yang paling dekat dengan pintu keluar: “neng punten pangmasihankeun ieu ka ujang itu, karunya” (neng maaf ini tolong kasih ke pengemis itu, kasihan). Sontak saya langsung lihat keluar melalui kaca, saya kira ibu itu beli jajanan dari tukang asongan.
                Subhanallah, saya benar-benar sadar. Betapa mulianya hati ibu itu. Dengan berbagai kesederhanaan yang mereka dapatkan, mereka masih bisa tersenyum, tertawa lepas seperti tanpa beban. Dan yang paling penting mereka masih memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi.
                Dunia memang sudah tak bersahabat lagi. Disaat orang berlomba-lomba menempuh pendidikan yang tinggi dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang layak dikemudian hari. Dimana orang-orang tanpa rasa malu mencuri hak orang lain, melanggar norma hukum, bahkan melanggar norma agama, hanya untuk memenuhi gaya hidup hedonisme dan memuaskan nafsu duniawi mereka. Dimana kebanyakan orang bangga memamerkan kehidupan mewah yang mereka dapatkan dengan cara yang hina. Sementara banyak pula yang kesusahan mencari nafkah halal, hanya untuk makan mereka sehari-hari. Jangankan untuk membeli barang-barang mewah, untuk makan pun mereka harus banting tulang siang dan malam. Tetapi mereka tidak kehilangan rasa manusiawinya, tidak kehilangan akal sehatnya. Meraka masih bisa memberi kepada sesama, masih peduli terhadap sesama, tak peduli keadaan mereka sendiripun seperti apa.
                Ternyata pendidikan tinggi, harta banyak, kehidupan mewah, bukan suatu jaminan bagi seseorang untuk hidup bahagia. Saya sangat berterimakasih kepada ibu tadi. Saya mendapat tamparan, seperti diingatkan kembali untuk lebih bersyukur lagi. Semoga Allah selalu melindungi dan meridhoi ibu.
                Yang saya dapat simpulkan, bahwa jagalah harga diri dan martabat kita sebgai makhluk yang diberi akal. Gunakan akal pikiran kita untuk menjadi makhluk yang bermanfaat bukan hanya untuk diri sendiri saja, tetapi bermanfaat untuk orang lain juga.


Bandung, 7 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar